Diskusi Ruang Rasio "Gender Equality"

Jakarta – Kegiatan diskusi Ruang Rasio dengan topik “Gender Equality” yang diadakan secara online melalui applikasi Microsoft Teams, kembali diadakan oleh UKM aktif Fisipol UKI, FISIPOL Thinkers Club yang berbasis pada riset dan kajian, pada Jumat 21 Agustus 2020, Pukul 14.00 WIB. Diskusi kali ini dimoderatori oleh salah satu anggota aktif UKM Fisipol Thinkers Club, Novelia Mamaghe serta diikuti oleh anggota-anggota UKM Fisipol Thinkers Club. Selain itu, hadir juga Darynaufal Mulyaman, S.S., M.Si., memberikan argumen pribadinya serta kesimpulan dalam bahasan tersebut, dimana beliau juga merupakan salah satu dosen HI UKI serta pembimbing UKM Fisipol Thinkers Club.

Pada pertemuan ketiga ini, Kegiatan Ruang Rasio kali ini menganalisis mengenai Gender Equality atau kesetaraan gender yang saat ini masih menjadi topik pembahasan dikalangan masyarakat. Beranjak pada definisi gender equality yang tidak mendefinisikan “sama” tetapi “serupa” atau “seimbang”, kesetaraan gender ada untuk menerima perlakuan yang sama dan tidak mendiskriminasi berdasarkan identitas gender. Misal dalam suatu pekerjaan atau pun pendidikan, laki laki dan perempuan berhak setara mendapatkan layanan tersebut tanpa ada membedakan.

   Dahulu, sebelum dikenalnya istilah gender equality, pandangan mengenai perbedaan wanita dan pria digolongkan berdasarkan perbedaan jasmani dan rohani. Wanita memiliki hormon progesteron sedangkan pria memiliki hormon testosteron. Oleh karena itu,dikarenakan wanita dan pria yang mempunyai hormon serta gen yang berbeda, sehingga ada yang dapat dilakukan wanita namun tidak dapat dilakukan pria, demikian sebaliknya. Terlebih lagi adanya pola berpikir bahwa peran perempuan hanya sebatas bekerja di dapur, sumur, mengurus keluarga dan anak, sehingga pada akhirnya hal di luar itu menjadi tidak penting. Namun setelah terbentuk pemahaman mengenai gender equality, hal tersebut kembali mengubah perspektif masing-masing individu mengenai kesetaraan serta awal dari lahirnya emansipasi.

Dalam diskusi Ruang Rasio kali ini juga membicarakan tentang HAM. Pembahasan topik ini didiskusikan karena berdasarkan defenisi dari HAM yang adalah persamaan untuk bebas dari rasa takut, bebas dari persekusi, dan bebas dari ancaman seperti orientasi seksual mayoritas atau yang normal, namun masih menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat sampai saat ini. Banyak kasus membuktikan bahwa masih banyak terjadi tindakan diskriminasi yang dialami oleh kelompok orientasi seksual tertentu atau khusus, seperti: Lesbian, Gay, Bisexual, Transexual, Queer, dan lain-lainnya (LGBTQ+).

Deklarasi HAM Universal menyepakati tentang kesetaraan gender, kependudukan dan hak dasar hidup manusia.  Berangkat dari pernyataan tersebut, LGBTQ+ seharusnya diperlakukan selayaknya manusia lainnya yang bukan bagian dari kelompok ini. Kebebasan dari persekusi adalah kata kunci bagi para pejuang kebebasan bagi para kelompok masyarakat LGBTQ+. Kebebasan dari rasa takut dan kebebasan berekspresi merupakan sebagian hak-hak dasar yang dijamin dalam Deklarasi HAM Universal. Deklarasi HAM Universal menyebutkan bahwa: “Whereas disregard and contempt for human rights have resulted in barbarous acts which have outraged the conscience of mankind, and the advent of a world in which human beings shall enjoy freedom of speech and belief and freedom from fear and want has been proclaimed as the highest aspiration of the common people”, yang artinya bahwa sejatinya manusia yang bebas dan merdeka adalah manusia yang bebas dari persekusi, bebas dari rasa takut, dan terjamin kebebasan berpendapat, berekspresi, serta menganut kepercayaan tanpa ada paksaan sedikit pun.

Melihat fenomena LGBTQ+ di Indonesia sebagai negara dengan dasar Pancasila, seyogyanya sudah lebih paham mengenai hal ini dari pada siapa pun. Pihak yang pro-kontra mengenai kelompok masyarakat LGBTQ+ memang tidak bisa lepas dari komposisi demografi masyrakat Indonesia yang bersifat heterogen, religius, dan cenderung konservatif. Ketika negara-negara lain sudah menerima kaum homoseksual dan biseksual, Negara Indonesia Kenyataannya sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa LGBTQ+ adalah masalah yang tabu dan bahkan tidak memberbolehkan ada di Tanah Air. Di lain pihak, makin banyak juga orang yang mendukung gaya hidup ini.

Pada akhir diskusi,  ditutup dengan kesimpulan bahwasanya semakin harinya, semakin banyak warga Indonesia yang menganggap bahwa kaum LGBTQ+ adalah orang-orang yang harus diterima dan diperlakukan seperti masyarakat biasa. Mungkin masih ada penolakan terhadap LGBT untuk hari ini. Tapi di kemudian hari, ketika waktu berlalu dan generasi berganti, pengertian ini akan terus berkembang dan secara logika bisa dipahami kalau suatu hari nanti Indonesia adalah negara yang ramah terhadap kaum lesbian, gay, biseksual, serta transgender dan lainnya.

Share this Post

DAFTAR BROSUR BEASISWA ID | EN