Mahasiswa Hubungan Internasional FISIPOL UKI Berhasil Publikasi di LIPI

Jakarta- Salah satu mahasiswa Program Hubungan Internasional FISIPOL UKI, William Sulistyo W mahasiswa angkatan 2017 berhasil menuliskan prestasi akademik yang sangat luar biasa, yakni dengan menerbitkan tulisan dengan judul " BRI Geopolitik Tiongkok di Myanmar," tulisan tersebut di publikasikan di website Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tanggal 10 September 2020.  Berikut hasil tulisan dari William; 

BRI dan Geopolitik Tiongkok di Myanmar

Pertumbuhan ekonomi dan militer Tiongkok melaju pesat sejak 2000an. Di bawah kepimpinan Presiden Xi Jinping, kekuatan ekonomi dan militer membentuk arah kebijakan politik luar negeri Tiongkok yang semakin proaktif dan agresif dalam menghadapi isu internasional, seperti sengketa isu teritorial dan kemaritiman. Dinamika kebijakan luar negeri Tiongkok yang kian progresif, secara eksplisit berdampak kepada negara-negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Negeri Tirai Bambu tersebut. Hal ini juga menandakan meningkatnya kepentingan Tiongkok untuk terus terlibat dalam kepemimpinan global. Kehadiran Belt and Road Initiative (BRI) telah memperjelas langkah substantif Beijing untuk memenuhi agenda internasional ambisiusnya sebagai kekuataan regional yang baru (Gong 2018).

Sebagai negara kedua yang memiliki daratan terluas di Asia Tenggara, Myanmar memiliki letak geografi yang strategis dan cukup diperhitungkan. Letaknya yang berada di persimpangan Asia Tenggara dan Asia Selatan, membuat Burma menjadi sasaran geopolitik Tiongkok untuk mengekspansi pengaruhnya di Samudra Hindia. Keterikatan pengaruh politik, militer, dan ekonomi yang terjalin sejak masa junta militer, mengakibatkan Myanmar mengalami dependensi yang cukup lama dan besar terhadap Tiongkok. Reformasi pemerintahan serta demokratisasi pada tahun 2011, telah membuat Myanmar mengubah kebijakan dalam dan luar negerinya secara keseluruhan. Pasca proses transisi inilah, Tiongkok kembali mencari posisi strategis untuk mempertahankan dominasi dan tekanan geopolitiknya di Negeri Tanah Emas tersebut. Meski banyak yang memprediksi bahwa di bawah kepemimpinan Aung Saa Suu Kyi Burma akan mendekat ke Barat, namun tak dapat dipungkiri jika letak geopolitik dan dominasi peran Tiongkok sebagai investor dan mitra perdagangan di Myanmar, serta konflik kelompok etnis yang belum tuntas, memaksa negara yang dijuluki Negeri Pagoda Emas ini, harus tetap berada dalam bayangan Tiongkok. 

Hadirnya BRI sebagai kebijakan luar negeri prioritas Tiongkok, yang digagas oleh Presiden Xi pada tahun 2013, adalah cara pemerintah yang berpartai sosialis-komunis ini  memperluas pengaruhnya melalui pembagunan ekonomi. Negara-negara yang memiliki perbatasan langsung seperti Myanmar adalah prioritas Tiongkok untuk dapat mempertahankan geopolitiknya di Asia Tenggara. Myanmar adalah negara non-komunis pertama yang mengakui pemerintahan yang dipimpin komunis di bawah Maois di Beijing. Dalam hubungan yang juga disebut sebagai saudara sedarah ini, relasi keduanya didasari pada ekonomi dan perdagangan mengingat melekatnya kedekatan geografis. Sanksi yang diberikan oleh Barat pada akhir tahun 1980-an membuat Myanmar semakin bergantung dengan hubungan ekonomi dengan negeri Tirai Bambu tersebut.

Sumber: fmprc.gov.cn

 

Kini, pada masa reformasi, Naypyitaw semakin cemas dengan adanya isu interdependensi ekonomi Tiongkok. Upaya Beijing untuk meningkatkan identitasnya sebagai mitra integral dengan mendiversifikasi keterlibatannya dengan tetangga bagian selatannya yang tidak hanya di tingkat negara, tetapi juga melalui partai politik, LSM, dan pelaku ekonomi, membuat arah kebijakan luar negeri Myanmar semakin kesulitan untuk berdikari (Lanteigne, 2017). Dipihak lain, munculnya peran Myanmar saat ini sebagai koridor transportasi ke Samudra Hindia serta penyuplai barang mentah dan bahan bakar fosil yang melimpah, telah menarik perhatian Beijing untuk memperluas kepentingan bisnisnya di pasar global.

Salah satu hambatan lainnya yang membuat Myanmar berada dalam bayangan kekuataan Tiongkok adalah adanya isu krisis pengungsi Rohingya pada tahun 2017. Dugaan upaya melakukan genosida etnis minoritas oleh aparat pemerintah menciptakan citra buruk bagi Myanmar. Oleh karena itu, Tiongkok sebagai anggota Dewan Keamanan tetap PBB memberikan hak vetonya dengan berpendapat bahwa pemberian sanksi dan kritik dan tidak menyelesaikan persoalan (Faiz, 2017). Pemberian suara hak veto Tiongkok di Dewan Keamanan PBB sekali lagi, telah membuat Myanmar berhutang budi terhadap Tiongkok. Dengan demikian, Tiongkok telah menjadi faktor eksogen geopolitik Myanmar di tingkat internasional serta terlibat dalam sosial-politik dan ekonomi Myanmar sejak beberapa tahun yang lalu.

Dari sudut pandang Tiongkok, Myanmar tetap menjadi prioritas strategis, baik di tingkat regional maupun tingkat internasional. Akses pelabuhan-pelabuhan Myanmar dan sumber daya yang melimpah merupakan faktor penting bagi Tiongkok untuk mengekspansi perdagangan maritimnya di Eurasia. Oleh karena itu, peran Myanmar bagi Tiongkok yang ada sejak dulu, akan tetap menjadi penting bagi pembangunan Tiongkok di masa depan. Posisi geografi Myanmar juga diyakini sebagai titik vital dalam Strategi Untaian Permata Tiongkok (China’s Pearl Chain Strategy), di mana strategi ini diduga sebagai cara Tiongkok untuk menguasai keamanan lautnya. Dengan demikian, ini telah menjadi bukti bahwa nilai geopolitik Myanmar yang tidak dapat tergantikan bagi Tiongkok dalam hal keamanan dan diplomasinya.

Vitalnya keberadaan Samudera Hindia, yang beberapa kali dikatakan oleh pejabat Tiongkok, membuat Negeri Tirai Bambu itu kembali memandang dan memetakan strategi baru yang harus ditempuh untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya. Munculnya Tiongkok sebagai importir minyak bumi dari Timur Tengah terbesar di dunia sejak 1993, serta krusialnya Samudera Hindia bagi perdagangan laut Tiongkok yang melintasi Asia menuju Afrika, adalah isu strategis yang cukup dipertimbangkan serius oleh Tiongkok. Oleh karena itu, akses pasokan energi yang merupakan prioritas Beijing untuk mengurangi ketidakpastiannya, dilakukan dengan berbagai proyek yang dianggap saling menguntungkan. Pada 2013 misalnya, konstruksi jaringan pipa gas dan minyak antara kota pelabuhan Kyaukphyuk ke Kumning, Tiongkok, telah rampung. Selain itu, pembangunan pelabuhan di kawasan tersebut merupakan upaya pengembangan rute maritim BRI. Di pihak lain, sengkarutnya persoalan kedaulatan dan batas teritori antara negara-negara pesisir Laut Tiongkok Selatan (LTS) dengan Tiongkok serta rentannya keamanan navigasi laut di rute Selat Malaka untuk kepentingan pengiriman minyak mentah dari Timur Tengah dan Angola, semakin menguatkan niat Tiongkok untuk menetapkan Samudera Hindia sebagai rute alternatif. Oleh karena itu, Pemerintah Tiongkok menilai Myanmar merupakan mitra strategis yang berpotensi untuk menurunkan dominasi India di Selatan Asia serta meningkatkan jangkauan strategisnya di Asia Tenggara.

Terlepas dari adanya agenda kemaritiman yang berusaha disembunyikan, kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan dengan banyak negara yang kaya sumber daya alam dan negara-negara berkembang yang berlokasi strategis dengan memfasilitasi berbagai instruktur yang menunjung serta bantuan keuangan adalah pendekatan strategis yang digunakan Tiongkok untuk mendominasi LTS dan Samudera Hindia. Megaproyek BRI tidak hanya akan menciptakan koridor transportasi darat dan laut tersendiri, melainkan merupakan solusi strategis untuk melepaskan diri dari kontrol AS di Selat Malaka.

Tidak seperti tujuan luar negeri negara-negara barat yang pada umumnya melakukan penaklukan atau kendali langsung di suatu negara, tujuan hubungan luar negeri Tiongkok dilakukan dengan cara yang berbeda. Kebebasan bertindak, dominasi ekonomi dan pengaruh diplomatik telah menciptakan paksaan. Bagi Myanmar, Tiongkok adalah pemain paling penting dalam perekonomian dan peradagangan Myanmar dan seterusnya pun akan demikian. Tiongkok acapakali memberikan hutang lunak dan bantuan finansial untuk mendongkrak perekonomian Myanmar. Kerjasama energi juga telah menjadi faktor integral dalam hubungan Sino-Myanmar. meningkatnya permintaan energi Tiongkok serta usainya pemerintah militer Myanmar telah membuka peluang proyek pembangunan energi yang didukung Tiongkok, termasuk jaringan pipa Pulau Maday pada tahun 2016 serta pembangunan kilang minyak di kota selatan, Dawei, oleh perusahaan Tiongkok, yaitu Guandong Zhenrong Energy. Di tahun yang sama, peningkatan pembangkit listrik tenaga batu bara kembali dipegang oleh perusahaan Tiongkok di Tigyit, Negara Bagian Shan.

Kendati banyak melakukan kerjasama yang saling menguntungkan, hubungan Sino-Myanmar yang sudah melekat dianggap berlebihan dan tidak semulus yang dijanjikan. Sebagian masyarakat Myanmar percaya bahwa kebangkitan Tiongkok saat ini tidak luput dari keterlibatan Myanmar, tetapi dipihak lain juga berpikir bahwa proyek BRI tidak dapat diimplementasikan tanpa adanya Mynamar. Faktanya, peran Tiongkok – Myanmar dalam proyek-proyek terlalu dilebih-lebihkan.

Penangguhan proyek bendungan Myitsone misalnya, dipercaya oleh banyak masyarakat Myanmar tidak membawa keuntungan bagi Myanmar sendiri. Menurut Chenyang dan Shaojun (2019), 90 persen daya listrik yang dihasilkan dari bendungan Myitsone akan dikirim ke Tiongkok. sedangkan 10 persen dari listrik tersebut bahkan tidak dapat digunakan oleh penduduk Myanmar sendiri. Di pihak lain, Yunnan sendiri telah mengalami surplus listrik lebih dari 20 juta KW sejak tahun 2014, yang mana sebagian berasal dari tenaga air (Chenyang and Shaojun 2019). Hal ini dapat terjadi karena perekonomian Tiongkok telah masuk dalam tahap baru sehingga permintaan listrik di Tiongkok timur meningkat dan perlu suplai daya lebih lagi.

Demikian juga dengan pembagunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kyaukpyu dan perkeretaapian Tiongkok-Myanmar.  Penghematan biaya dan waktu dapat terjadi jika barang-barang Tiongkok dapat diangkut melalui kereta api Kunming-Kyaukphyu ke pelabuhan Kyaukphyu dan kemudian dikirim ke Asia Selatan, Afrika, dan Eropa melalui laut. Namun, hal ini menjadi masalah ketika barang impor harus mencapai jutaan ton, baru bisa ada jumlah kapal ke pelabuhan utama di dunia. Jika tidak, barang harus menunggu di pelabuhan atau ditransfer ke Singapura. Transportasi kereta barang Kunming – Kyaukphyu juga harus mencapai jutaan ton dan untuk dapat membangun kereta tersebut, membutuhkan jalur ganda berlistrik. Sedangkan, jalur kereta api Dali – Ruili yang sedang dibangun tidak dapat memenuhi permintaan. Oleh karena itu, meskipun kereta api Kunming – Kyaukpyu telah dibangun, itu hanya menyediakan pelabuhan untuk Tiongkok barat daya. Ini menandakan signifikasi ekonomi lebih bersifat simbolis daripada praktis dalam jangka pendek. Diperlukan waktu 20 tahun lagi untuk menyelesaikan konstruksi Kyaukphyu, yang artinya proyek ini tidak membawa manfaat ekonomi langsung.

 

Kesimpulan

Kebangkitan Tiongkok telah membentuk Tiongkok semakin agresif dalam menanggapi suatu isu. Hadirnya BRI merupakan salah satu cara yang ditempuh Tiongkok untuk semakin terlibat dalam arena politik internasional. Myanmar merupakan salah satu negara yang memegang peranan penting bagi Tiongkok. Melalui BRI, geopolitik Tiongkok di Myanmar untuk menguasai Samudra Hindia dan Benua Asia semakin jelas. Berbagai proyek strategis yang saling menguntungkan dilakukan mengingat Myanmar tidak memiliki nilai tawar yang setara dengan Tiongkok. Kendati demikan, berbagai proyek strategis dalam BRI telah memiliki dampak buruk bagi masyarakat Myanmar dan dianggap hanya akan menguntungkan Tiongkok saja. Di masa depan, diperkirakan, cengkraman pengaruh Tiongkok terus membayangi Myanmar. (will/upiks)

Referensi

Brewster, David. 2016. "Silk Roads and Strings of Pearls: The Strategic Geography of China’s New Pathways in the Indian Ocean." Geopolitics, August 30: 1-20.

Chenyang, Li, and Song Shaojun. 2019. "China’s OBOR Initiative and Myanmar’s Political Economy." Economic Issue of the One-Belt-One-Road Policy, Febuary 1: 318-332.

Faiz, Dhio. 2017. China dan Rusia Tolak Resolusi PBB soal Rohingya. December 25. Accessed August 25, 2020. https://www.cnnindonesia.com/internasional/20171225191555-106-264752/china-dan-rusia-tolak-resolusi-pbb-soal-rohingya.

Gong, Xue. 2018. "The Belt & Road Initiative and China’s influence in Southeast Asia." The Pasific Review 1-25.

Lanteigne, Marc. 2017. "'The rock that can't be moved’: China's revised geostrategies in Myanmar." The Pacific Review, December 27: 1-15.

Malik, J. Mohan. 2018. "Myanmar’s Role in China’s Maritime Silk Road Initiative." Journal of Contemporary China, December 27: 262-378.

Su, Xiaobo. 2016. "Repositioning Yunnan: security and China’s geoeconomic engagement with Myanmar." Area Development and Policy, June 29: 1-15.

Team, China Power. 2016. How is China’s energy footprint changing? March 16. Accessed August 12, 2020. https://chinapower.csis.org/energy-footprint/#:~:text=According%20to%20China%20National%20Petroleum,will%20be%20sourced%20from%20elsewhere.

Wang, Yong. 2016. "Offensive for defensive: the belt and road initiative and China's new grand strategy." The Pacific Review, March 09: 1-8.

Wheeler, Andre. 2016. The New China Silk Road (One Belt, One Road): Myanmar's influence and potential benefits. January 4. Accessed 6 August, 2020. https://www.linkedin.com/pulse/new-china-silk-road-one-belt-myanmars-influence-benefits-wheeler.

Share this Post

DAFTAR BROSUR BEASISWA ID | EN