RUANG RASIO "BUZZER DAN RASIONALITAS BERPIKIR"

Jakarta, 24 September 2020 – UKM aktif Fisipol UKI, FISIPOL Thinkers Club yang berbasis pada riset dan kajian kembali melaksanakan kegiatan diskusi rutin UKM, yakni Ruang Rasio dengan topik “Buzzer dan Rasionalitas Berpikir”. Diskusi ini diadakan secara online melalui aplikasi Line, pada Kamis 24 September 2020, Pukul 14.00 WIB hingga 16.00 WIB. Diskusi ini dimoderatori oleh Elnatan Harefa, anggota aktif UKM Fisipol Thinkers Club (FTC) UKI. Pada Diskusi kali ini selain diikuti oleh anggota UKM, hadir juga Darynaufal Mulyaman, S.S., M.Si selaku pembimbing UKM FTC dan dosen HI (Hubungan Internasional) UKI. Di diskusi Ruang Rasio edisi kali ini, UKM FTC UKI menghadirkan narasumber yang berasal dari luar UKI, yakni Ghazi Sadikin, S.I.P., Wakil Ketua Badan Saksi Pemilu Nasional PDI Perjuangan Provinsi DKI Jakarta, sebagai narasumber. Beliau memaparkan pengalaman dan opininya sebagai seorang yang aktif berpolitik, dalam organisasi mau pun secara akademik.

Pada pertemuan kelima ini, kegiatan Ruang Rasio berfokus dalam menganalisis mengenai fenomena Buzzer hadir di Indonesia dan bagaimana seharusnya seorang mahasiwa dapat mengedepankan rasionalitas saat berpikir. Ghazi Sadikin yang juga pernah berprofesi sebagai Staff Ahli Ketua DPRD DKI Jakarta 2014-2016, membuka paparan materi dengan landasan mengenai media sosial atau yang beliau sebut dengan New Media. Pada artikel beliau yang berjudul The Exponentialist Growth, di acara Asian-African Student Conference di Bandung, 2015, media sosial merupakan salah satu bukti nyata kemajuan teknologi. Media sosial dengan basis internet mendorong berbagai perubahan dalam banyak aspek kehidupan manusia. Termasuk berpendapat atau mengekpresikan aspirasi. Salah satu bentuk perubagan nyata dunia teknologi dan komunikasi saat ini adalah bagaimana fenomena Buzzer atau pendengung muncul di ranah-ranah politik praktis yang dimafaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Secara sederhana, Buzzer dimaknai personal atau kolektif yang berperan sebagai motor penggerak viralnya sebuah wacana/isu untuk diperbincangkan netizen dalam dunia maya. Dinamakan sebagai Buzzer karena berkaitan dengan tugasnya mendengungkan (Buzzing) suatu isu atau wacana untuk dibicarakan publik sebagai sebuah konstruksi berpikir pada sebuah wacana/isu.

Buzzer pada awalnya digunakan untuk mempromosikan suatu produk atau layanan dengan  atau  tanpa  imbalan  tertentu.  Namun,  sejak  tahun  2014, ketika pemilu dilangsungkan di  Indonesia, jasa Buzzer mulai  dilirik oleh  aktor-aktor  politik.  Profesi  Buzzer memiliki  dua  kategori yakni, Buzzer yang dilakukan secara sukarela dan Buzzer sesuai permintaan. Biasanya Buzzer sesuai permintaan  ini  dilirik  oleh  para  aktor  politik  praktis sebagai salah satu media publikasi pada kampanye  untuk memenangkan Pilkada, Pileg, dan bahkan sangat tidak mungkin pada Pilpres. Buzzer ini berperan untuk memperluas suatu informasi, wacana/isu, hingga menggiring opini agar dapat dilihat oleh masyarakat. Buzzer politik dengan imbalan tertentu berperan pula untuk membuat sebuah narasi dan hashtag atau tagar harian agar menjadi trending atau urutan teratas di media sosial sehingga akan banyak menarik perhatian masyarakat pengguna media sosial.

Maka dari itu, di dalam era informasi yang mengalir deras di ruang-ruang media baru yang sebelumnya belum pernah digunakan atau bahkan belum pernah ada, seperti internet dan media social yang revolusioner dalam kehidupan manusia, masyarakat dituntut untuk mampu mengimplementasikan rasionalitas dalam berpikir. Rasional berarti mampu menganalisis dan menyaring segala informasi yang tersebar berdasarkan fakta yang sebenarnya. Berpikir skeptis juga diperlukan untuk mengontrol diri dari kepercayaan berlebih terhadap satu pihak dengan latar belakang kegemaran atau kesenangan pribadi. Selain itu, pemerintah juga harus mampu memberikan ruang bagi masyarakat dalam media sosial serta mengurangi keterlibatan langsung melalui instrumen hukum yang jelas dan dipersiapkan serta digunakan dengan baik agar tidak terdapat pasal-pasal yang cenderung “karet” karena beberapa hal. Terlebih dengan adanya tujuan Indonesia untuk mengimplementasikan E-Goverment sebagai wujud dari SDGs (Sustainable Development Goals)  yang adalah rencana aksi global dalam struktur kepemerintahan Indonesia,  sinergisitas antara pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan dalam membentuk komunitas politik dan publik yang terbebas dari fenomena buruk buzzer tersebut.

 

Share this Post

DAFTAR BROSUR BEASISWA ID | EN